Sketsa Sebuah Negeri
Di negeri ini
Selalu kutuliskan kata-kata
lagu tangisan seorang anak tanpa suara
Yang berjatuhan di jalan
Di bawah trotoar
Di keramaian negeri ini
Di bawah awan hitam kerap menjadi bayang-bayang
menjadi Jalan berbatu
Dalam kabut yang mencengkramnya
Dan luka yang tak sia-sia
Melayang didalam ingatan
Menyimak setiap tatap yang hilang
Para Kerumunan orang selalu berkata
“kami tidak butuh apa-apa sekalipun kematian menyapa
Hanya untuk kehidupan yang tidak berharga,
sebab ini hanya kehidupan sementara”
Semakin malam, negeri ini semakin asing dan bising
Begitulah kata ibuku
Dan kutemukan serpihan pohon rindu
Yang mengenggam banyak ingatan
“Ini luka bersejarah yang tak bisa kita lupakan nak“
Jogja 2016
Rahasia
Tubuh menari walau aku tidak mengerti
Sedang jari jemari mengikuti gerak tubuh
Sampai aku terlupa
Padamu aku melihat
Saat lampu padam dan menjadi senyap
panggung itu tiba-tiba semua menjadi sepi
Mata kerap bersua
Tapi tetap
Kau bernyawa dalam rahasiaku
Jarum jam berputar begitu lamban
Meninggalkan kisah dalam tarianku
Diam-diam aku terus menari tanpa senyum
Langkah demi langkah semakin ku tak mengerti
Entah ini tarianku yang terakhir
Sementara disini ketakutan telah lama mampir
Dan kulihat lilin-lilin menyala
Memberi kabar tentang sebuah cerita
Dari masa ke masa
lewat sajak ini
Kita tak lagi menjadi pelupa
Dan mengerti setiap tarian demi tarian
Jogja 2016
Perihal Keberadaan
tak ada yang tahu
keberadaan mu yang
selalu merumuskan tentangku
dihati yang sungguh sepi
kau takut dikutuk jadi patung
kau mengintip dari balik daun-daun itu
yang akarnya mejulur ke laut
diam dan hanya menunggu angin dan ombak
lalu pelan-pelan kau pergi
ini tempat indah yang kau tingalkan
terlihat angin yang hembusannya
menjelma lautmu yang dalam
waktu kian jauh
meneteskan air mata yang asin
yang dapat ku lukis di kertas yang tak bergaris
aku tak pernah yakin
apakah perempuan akan selalu diluruhkan
tetapi aku, seperti benar-benar jatuh
barangkali ini gelisahku
untuk kerap menyesal dan terlambat tahu
Jogja 2016
Hujan Negeri Perantauan
Hujan membawa sisa gelisah dan resah
Hanyut ke sungai sungai
Tak sekedar luka dan tangis
Adakah engkau mengerti
Inikah yang dinamai sebuah hujan
Jiwamu letih menggigil
Adakah tempat lain yang mesti ku tuju selain dirimu ?
Senja mulai remang menuju petang
Kau tak harus menulis namaku
Jejakmu telah tertinggal menjadi kenangan
Kenangan ini, rinduku
Ketika senja telah karam
Seperti malam yang silam
Dan aku terus berdiam
Kita tak usah mempersoalkan
Tentang hidup dan mati
Namun selalu ada yang terlupa
Ah, mengapa hatimu mesti bertanya
Kau telah memahami perih
Dan kau selalu mencari diri yang tak pernah kembali
Alangkah baiknya kita bercakap tentang hujan
Dari jendela masih ku tatap
Di batas kota yang tanpa penghuni
Kata-kata itu berjatuhan ke tanah
Katamu : Siapapun boleh berlalu
Sebab dalam luka telah kau lepas
Dan biarlah pula
Diri hanya berkaca
Pada sesuatu yang ada di depan mata
Sampai ku tahu kau benar-benar ada
Jogja 2016
*Penulis kelahiran Kolpo, Sumenep, alumni Al-Huda
Gapura Timur,. kini tinggal di Yogyakarta menjadi Mahasiswi Sosiologi Agama
Fakultas Ushuluddi dan pemikiran Islam UIN Sunan kalijaga Yogyakarta, belajar
menulis sastra dan aktif di Komunitas Rudal Yogyakarta, juga bergiat di LPM
HumaniusH UIN SuKa. Antologi puisi
bersamanya “Sinopsis Pertemuan”(2012),“Menatap Sebuah Asa, hanya
sebuah nyanyian parau bocah jalanan” (2013), “Gemuruh Ingatan, 8 tahun
Lumpur Lapindo ”(2014), Jaket Kuning Sukirnanto (2014), “NUN”
(2015), 175 penyair dari negeri Poci 6 “Negeri Laut” (2015) Sebagian
puisinya tersiar di beberapa media cetak antara lain Indopost, Radar
Surabaya, sinar harapan dan juga di Medan bisnis”medan”,dll.
Hp : 089633616393 / 082337375863

0 komentar
Posting Komentar