MEMBANGKITKAN
SASTRA PESANTREN
Oleh : Salama
Elmie *
Pesantren selama ini yang kita pahami adalah tempat menimpa ilmu
dalam segi keagamaan “religius” yang di buktikan dengan banyaknya
kitap-kitap yang di pelajarinya, namun disini kita mencoba melihat sisi
lain dari sebuah pesatren bahwa Pesantren bukan hanya sebangai tempat
menimpa ilmu, juga sebangai tempat untuk menata kehidupan berbaur dengan masyarakat
santri dan sebuah kebudayaan berbeda, yang memiliki sistem 24 jam sebangai
sistem belajar yang unik.
Pesantren selain juga memberikan inspirasi bagi pemuda atau pemudi,
tidak heran jika pesantren pada kenyataan juga melahirkan para santrawan dan
penulis yang berbakat dan hebat, mereka banyak menghasilkan karya-karyanya
dalam bentuk sastra, tanpa kita sadari Pesantren memberikan manfaat yang
banyak, tidak hanya dari segi keagamaan saja, pesantren dalam pelajaran keagamaan
itulah yang didalamnya terdapat syi’ir-syi’irnya. seperti yang dikatakan diatas
bahwa Pesantren banyak melahirkan para sastrawan dan penulis yang luar biasa.
Kebanyakan masyarakat lebih melihat dan berfikir Pesantren
merupakan tempat menimpa ilmu dalam segi keagamaan saja yang tidak ada sangkut
pautnya dengan syi’ir-syi’ir (puisi), seni dan lain-lain. Namun hal ini yang
perlu di klarifikasi bahwa Pesantren tidak seperti yang kita pahami selama ini saja.
Sastra dan Pesantren menjadi suatu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan, dalam Pesantren kita di ajarkan tentang sebuah (syi’ir) atau kata
lainnya adalah puisi sudah menjadi aktifitas keilmuan yang ada dalam Pesantren,
berbangai macam keilmuan keagamaan yang diajarkan melalui bait puisi, seperti
halnya “Nadhaman” yang biasa di baca setiap hari bahkan mereka menghapalkannya,
bahkan mereka tidak segan-segan untuk meyanyikannya, baik sendiri atau bersama,
dalam pembelajaran itulah Pesantren tidak luput dari bentuk puisi yang di
bacakannya, seperti pembacaan “Barzanji” , doa-doa, dan bahkan tauhid yang
semuanya berbentuk puisi dan pesan yang terkandung didalamya yang dapat di
jalankan dalam kehidupan sehari-hari, Bagian kitaplainnya pun demikian.
sistem nilai yang dimiliki Dalam Pesantren berbeda dengan sistem
nilai manapun,nilai yang berkembang,sebangai mana yang dikatakan oleh
Abdrrahman Wahid, bahwa nilai yang ada di Pesantren mempunyai watak tersendiri
atau watak sub-kultur. Seperti halnya yang saya alami sendiri dimana saya
menimba ilmu dan tinggal di pesantren selama enam tahun.
Dalam hiruk piruk kehidupan yang semuanya serba instan pesantren
mengalami perubahan dari waktu ke waktu, seiring perubahan yang terjadi di luar
kehidupan tradisinya, baik dari kesenian itu sendiri ataupun hal yang lainnya
yang ada di pesantren. Sebenarnya jika di cermati lebih dalam lagi terdapat
beberapa Faktor, diantaranya adalah Faktor sosial, ekonomi, politik, budaya dan
juga teknologi yang menjadi penentu perubahan itu. Faktor-faktor inilah yang
kemudian merubah bentuk pola kehidupan yang terdapat di pesantren yang tadinya
tradisional menjadi bermacam-macam. Ada pula pesantren yang masih tetap
tradisional dengan salaf-nya, ada juga yang semi modern dengan menggabungkan
salaf dan sekolah umum, dan ada juga yang modern penuh. Dari perubahan bentuk
yang bemacam-macam itu, kiailah yang masih tetap memegang otoritas tertinggi
baik dalam pesantren itu sendiri juga di dalam kehidupan masyarakat sekitarnya.
Dengan demikian kehidupan kesenian di pesantren pun, termasuk sastra di
dalamnya, sangat tergantung dari kebijakan dan daya apresiasi sang kiai sebagai
pimpinan.
Perkembangan teknologi inilah yang juga banyak memepengarhi
perkembangan sastra di pesantren, dengan adanya tenologi yang semua serba
instan dan serba bisa di cari dengan menggunkana tekonologi kemudian ada rasa
malas, baik dalam mebaca dan juga menulis sastra. Rasa malas inilah yang membuat
sastra di pesantren tidak berkembang. Sebab menulis ataupun berkarya tanpa di
barengi dengan membaca maka hasil yang di dapat maksimal.
Kemudian timbul pertanyaan, bangaimana membangkitkan sastra di
pesantren? Di pesantren-pesantren semi modern atau modern, seperti pengalaman
saya pendidikan sastra secara formal didapatkan para santri dari pelajaran
sekolah seperti halnya yang terjadi di sekolah-sekolah umum atau di dalam
sebuah komunitas. Dan sastra yang diajarkan tentu saja bagian dari pelajaran
bahasa Indonesia. Pelajaran sastra di sekolah ini tentu saja kurang maksimal
karena terbatasnya jam pelajaran dan juga kapasitas gurunya, yang tidak
semuanya punya minat yang besar pada sastra. Kehidupan sastra di
pesantren-pesantren jenis ini tak jauh berbeda dengan kondisi di
sekolah-sekolah umum.
Namun beda halnya dengan apa yang ada di pesantren-pesantren
tradisional, memang jelas tak ada pelajaran sastra seperti halnya di sekolah
umum, namun mempelajari tentang kesusastraan bisa didapat para santri melalui
proses pengajian kitab kuning yang kebetulan banyak berisi syair-syair yang
bernilai sastra tinggi seperti yang sudah di jelaskan diatas.
Pada awalnya para santri hanya menyimak makna dari syair-syair
tersebut sebagai materi pengajian, namun dengan kebiasaan dan kekhusyukan
mereka pun menjadi akrab juga dengan keindahan bahasanya, dengan kemerduan
bunyinya dan sebagainya seebangaiman yang telah dikatakan di awal. Bahkan para
santri tanpa harus mempelajari bangaimana cara menulis yang bener dan baik,
akan tetapi mereka cenderung langsung praktek. Ini lah sisi perbedaan antara
satra yang ada di sekolah umum dan di pesantren.
Dengan demikian bagi para santri salaf pelajaran sastra
mereka dapatkan secara tidak langsung dan tanpa mereka sadari bahwa hal itu
merupakan pelajaran tentang kesustaraan, yakni lewat pengajian kitab kuning dan
juga nadaman yang bisa dibaca setipa hari. Di masa lalu jenis karya sastra yang
banyak ditulis para santri atau kiai ini kebanyakan berupa nadoman atau
syi’iran, sejenis salawat atau puji-pujian yang merupakan penghormatan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang ditulis dalam bahasa Arab atau daerah. Nadoman
atau syi’iran ini kadang juga berisi petuah atau nasihat.
Perkembangan sastra di pesantren memang tidak seragam begitupun
untuk membangkitkan sastra di pesantren tidaklah mudah dan dalam waktu sekejab
mata, hal ini di perlukan proses dan usaha yang tidak mudah untuk dilakukan,
membutuhkan jiwa, hati dan pikiran yang kuat baik secara mental sudah siap. Perkebangan sastra Ada yang menonjol dalam aktivitas
penulisan hingga banyak melahirkan calon-calon sastrawan, ada juga yang
menonjol dalam hal apresiasi atau kegiatan keseniannya. Banyak juga yang tidak
kedua-duanya. Hal ini selain ditentukan oleh sikap kiainya terhadap kesenian
hingga mempengaruhi kreativitas di pesantren, juga oleh para santrinya itu
sendiri.
Di sejumlah pesantren aktivitas kesenian para santri timbul
tenggelam seiring siklus keluar masuknya santri. Tapi ada juga pesantren yang
melembagakan aktivitas kesenian sebagai unit kegiatan, yang mau tidak mau akan
diikuti oleh para santrinya tanpa dipengaruhi oleh siklus keluar masuknya para
santri. Pesantren-pesantren di Madura misalnya, sudah sejak lama melembagakan
aktivitas kesenian, termasuk sastra, seperti halnya sebuah komunitas sanggar.
Mereka mengadakan diskusi, pelatihan kepenulisan, penerbitan buletin dan juga
kegiatan sastra dengan mendatangkan sastrawan dari luar. Mereka juga aktif
mengisi rubrik-rubrik sastra baik di media khusus maupun umum.
Membangkitakan sastra di pesantren diperlukannya seperti
membangkitkan kesadaran terhadap kesusutraan, membangkitkna minat baca terhadap
para santri juga sangat di perlukan untuk menambah wawasan yang lebih luas, dan
memberikan motivasi kepada para santri
dengan melibatkan mereka dalam menerbitan sebuah majalah, antologi puisi
sastra, cerpen, dan juga ke jenjang penenrbitan Novel yang didalamnya terdapat
karya-karya para santri khusus untuk
kalangan pesantren. Hingga pada akhirnya kreativitas para santri dalam dunia
tulis menulis yang semakin meningkat, khususnya di sejumlah pesantren. Tentu
saja hal ini menggembirakan karena karya-karya para santri, alumni maupun para
pengasuh pesantren bisa dibaca oleh kalangan yang lebih luas dan bisa
terdokumentasikan dan juga memberikan kegairahan tersendiri yang membangkitkan
sastra dalam pesantren.
Seperti yang disinggung di atas, pesantren sebagai sebuah
sub-kultur memang mempunyai sistem dan karakter tersendiri yang bisa jadi
kurang dipahami pihak luar sebangai wadah dalam menimpa ilmu baik keagamaan
atau ada campur ilmu umum, akan tetapi juga tentang kesustaraan yang
akhir-akhir ini mulai mengalami kemorosotan. Maka dalam meningkatkan apresiasi
sastra di pesantren banyak hal yang harus di pertimbangkan dan di pahami,
misalnya tentang bagaimana sikap kiai terhadap kesenian, khususnya sastra.
Mengetahui sikap kiai ini sangat penting jika gerakan apresiasi yang dimaksud akan
bersifat struktural, misalnya dengan melembagakan sanggar sebagai wadah
aktivitas dan kreativitas para santri. Mengetahui sikap kiai juga penting jika
bentuk kegiatan yang dipilih bukan sanggar secara formal, namun berupa
keleluasaan yang diberikan bagi para santri untuk beraktivitas sastra di
pesantren.
Sastra di pesantren juga mampu mengembalikan keberadaan pesantren
yang semakin merosot di mata masyarakat, di mana masyarakat lebih meilih
menyekolahkan anaknya ke sekolah umum dari pada di pesantren, dimana yang kita
ketahui sastra dan kesenian ini memiliki nilai-nilai yang halus yang bisa di
pelajari dalam kehidupan sosial masyarakat, baik sastra yang berbau keagamaan,
politik, ekonomi, sosial-budaya yang secara halus memberikan apresiasi terhadap
masyarakat yang membaca dan mendengarkannya. Dengan demikina sastra di
pesantren memiliki pengaruh yang sangat besar yang tanpa sadar kita pahami yang
perlu kita tingkatkan kualitas-kreativitas sastra di pesantren .
Tulisan ini tak cukup sampai di sini untuk selesai hanya sebagai
karya ilmiah. Hal ini diperlukan adanya sebuah aplikasi langsung dalam
kehidupan masyarakat. Karya ilmiah ini tak sempurnah, maka diperlukan adanya
sebuah kritikan dan saran yang diperlukan oleh penulis.

0 komentar
Posting Komentar