Rabu, 30 November 2016

MEMBANGKITKAN SASTRA PESANTREN



MEMBANGKITKAN SASTRA PESANTREN
Oleh : Salama Elmie *

Pesantren selama ini yang kita pahami adalah tempat menimpa ilmu dalam segi keagamaan “religius” yang di buktikan dengan banyaknya kitap-kitap yang di pelajarinya, namun disini kita mencoba melihat sisi lain dari sebuah pesatren bahwa Pesantren bukan hanya sebangai tempat menimpa ilmu, juga sebangai tempat untuk menata kehidupan berbaur dengan masyarakat santri dan sebuah kebudayaan berbeda, yang memiliki sistem 24 jam sebangai sistem belajar yang unik.
Pesantren selain juga memberikan inspirasi bagi pemuda atau pemudi, tidak heran jika pesantren pada kenyataan juga melahirkan para santrawan dan penulis yang berbakat dan hebat, mereka banyak menghasilkan karya-karyanya dalam bentuk sastra, tanpa kita sadari Pesantren memberikan manfaat yang banyak, tidak hanya dari segi keagamaan saja, pesantren dalam pelajaran keagamaan itulah yang didalamnya terdapat syi’ir-syi’irnya. seperti yang dikatakan diatas bahwa Pesantren banyak melahirkan para sastrawan dan penulis yang luar biasa.
Kebanyakan masyarakat lebih melihat dan berfikir Pesantren merupakan tempat menimpa ilmu dalam segi keagamaan saja yang tidak ada sangkut pautnya dengan syi’ir-syi’ir (puisi), seni dan lain-lain. Namun hal ini yang perlu di klarifikasi bahwa Pesantren tidak seperti yang kita pahami selama ini saja.
Sastra dan Pesantren menjadi suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, dalam Pesantren kita di ajarkan tentang sebuah (syi’ir) atau kata lainnya adalah puisi sudah menjadi aktifitas keilmuan yang ada dalam Pesantren, berbangai macam keilmuan keagamaan yang diajarkan melalui bait puisi, seperti halnya “Nadhaman” yang biasa di baca setiap hari bahkan mereka menghapalkannya, bahkan mereka tidak segan-segan untuk meyanyikannya, baik sendiri atau bersama, dalam pembelajaran itulah Pesantren tidak luput dari bentuk puisi yang di bacakannya, seperti pembacaan “Barzanji” , doa-doa, dan bahkan tauhid yang semuanya berbentuk puisi dan pesan yang terkandung didalamya yang dapat di jalankan dalam kehidupan sehari-hari, Bagian kitaplainnya pun demikian.
sistem nilai yang dimiliki Dalam Pesantren berbeda dengan sistem nilai manapun,nilai yang berkembang,sebangai mana yang dikatakan oleh Abdrrahman Wahid, bahwa nilai yang ada di Pesantren mempunyai watak tersendiri atau watak sub-kultur. Seperti halnya yang saya alami sendiri dimana saya menimba ilmu dan tinggal di pesantren selama enam tahun.
Dalam hiruk piruk kehidupan yang semuanya serba instan pesantren mengalami perubahan dari waktu ke waktu, seiring perubahan yang terjadi di luar kehidupan tradisinya, baik dari kesenian itu sendiri ataupun hal yang lainnya yang ada di pesantren. Sebenarnya jika di cermati lebih dalam lagi terdapat beberapa Faktor, diantaranya adalah Faktor sosial, ekonomi, politik, budaya dan juga teknologi yang menjadi penentu perubahan itu. Faktor-faktor inilah yang kemudian merubah bentuk pola kehidupan yang terdapat di pesantren yang tadinya tradisional menjadi bermacam-macam. Ada pula pesantren yang masih tetap tradisional dengan salaf-nya, ada juga yang semi modern dengan menggabungkan salaf dan sekolah umum, dan ada juga yang modern penuh. Dari perubahan bentuk yang bemacam-macam itu, kiailah yang masih tetap memegang otoritas tertinggi baik dalam pesantren itu sendiri juga di dalam kehidupan masyarakat sekitarnya. Dengan demikian kehidupan kesenian di pesantren pun, termasuk sastra di dalamnya, sangat tergantung dari kebijakan dan daya apresiasi sang kiai sebagai pimpinan.
Perkembangan teknologi inilah yang juga banyak memepengarhi perkembangan sastra di pesantren, dengan adanya tenologi yang semua serba instan dan serba bisa di cari dengan menggunkana tekonologi kemudian ada rasa malas, baik dalam mebaca dan juga menulis sastra. Rasa malas inilah yang membuat sastra di pesantren tidak berkembang. Sebab menulis ataupun berkarya tanpa di barengi dengan membaca maka hasil yang di dapat maksimal.
Kemudian timbul pertanyaan, bangaimana membangkitkan sastra di pesantren? Di pesantren-pesantren semi modern atau modern, seperti pengalaman saya pendidikan sastra secara formal didapatkan para santri dari pelajaran sekolah seperti halnya yang terjadi di sekolah-sekolah umum atau di dalam sebuah komunitas. Dan sastra yang diajarkan tentu saja bagian dari pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran sastra di sekolah ini tentu saja kurang maksimal karena terbatasnya jam pelajaran dan juga kapasitas gurunya, yang tidak semuanya punya minat yang besar pada sastra. Kehidupan sastra di pesantren-pesantren jenis ini tak jauh berbeda dengan kondisi di sekolah-sekolah umum.            
Namun beda halnya dengan apa yang ada di pesantren-pesantren tradisional, memang jelas tak ada pelajaran sastra seperti halnya di sekolah umum, namun mempelajari tentang kesusastraan bisa didapat para santri melalui proses pengajian kitab kuning yang kebetulan banyak berisi syair-syair yang bernilai sastra tinggi seperti yang sudah di jelaskan diatas.
Pada awalnya para santri hanya menyimak makna dari syair-syair tersebut sebagai materi pengajian, namun dengan kebiasaan dan kekhusyukan mereka pun menjadi akrab juga dengan keindahan bahasanya, dengan kemerduan bunyinya dan sebagainya seebangaiman yang telah dikatakan di awal. Bahkan para santri tanpa harus mempelajari bangaimana cara menulis yang bener dan baik, akan tetapi mereka cenderung langsung praktek. Ini lah sisi perbedaan antara satra yang ada di sekolah umum dan di pesantren.
Dengan demikian bagi para santri salaf pelajaran sastra mereka dapatkan secara tidak langsung dan tanpa mereka sadari bahwa hal itu merupakan pelajaran tentang kesustaraan, yakni lewat pengajian kitab kuning dan juga nadaman yang bisa dibaca setipa hari. Di masa lalu jenis karya sastra yang banyak ditulis para santri atau kiai ini kebanyakan berupa nadoman atau syi’iran, sejenis salawat atau puji-pujian yang merupakan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW, yang ditulis dalam bahasa Arab atau daerah. Nadoman atau syi’iran ini kadang juga berisi petuah atau nasihat.
Perkembangan sastra di pesantren memang tidak seragam begitupun untuk membangkitkan sastra di pesantren tidaklah mudah dan dalam waktu sekejab mata, hal ini di perlukan proses dan usaha yang tidak mudah untuk dilakukan, membutuhkan jiwa, hati dan pikiran yang kuat baik secara mental sudah siap. Perkebangan  sastra Ada yang menonjol dalam aktivitas penulisan hingga banyak melahirkan calon-calon sastrawan, ada juga yang menonjol dalam hal apresiasi atau kegiatan keseniannya. Banyak juga yang tidak kedua-duanya. Hal ini selain ditentukan oleh sikap kiainya terhadap kesenian hingga mempengaruhi kreativitas di pesantren, juga oleh para santrinya itu sendiri.
Di sejumlah pesantren aktivitas kesenian para santri timbul tenggelam seiring siklus keluar masuknya santri. Tapi ada juga pesantren yang melembagakan aktivitas kesenian sebagai unit kegiatan, yang mau tidak mau akan diikuti oleh para santrinya tanpa dipengaruhi oleh siklus keluar masuknya para santri. Pesantren-pesantren di Madura misalnya, sudah sejak lama melembagakan aktivitas kesenian, termasuk sastra, seperti halnya sebuah komunitas sanggar. Mereka mengadakan diskusi, pelatihan kepenulisan, penerbitan buletin dan juga kegiatan sastra dengan mendatangkan sastrawan dari luar. Mereka juga aktif mengisi rubrik-rubrik sastra baik di media khusus maupun umum.
Membangkitakan sastra di pesantren diperlukannya seperti membangkitkan kesadaran terhadap kesusutraan, membangkitkna minat baca terhadap para santri juga sangat di perlukan untuk menambah wawasan yang lebih luas, dan memberikan motivasi kepada para santri  dengan melibatkan mereka dalam menerbitan sebuah majalah, antologi puisi sastra, cerpen, dan juga ke jenjang penenrbitan Novel yang didalamnya terdapat karya-karya para santri  khusus untuk kalangan pesantren. Hingga pada akhirnya kreativitas para santri dalam dunia tulis menulis yang semakin meningkat, khususnya di sejumlah pesantren. Tentu saja hal ini menggembirakan karena karya-karya para santri, alumni maupun para pengasuh pesantren bisa dibaca oleh kalangan yang lebih luas dan bisa terdokumentasikan dan juga memberikan kegairahan tersendiri yang membangkitkan sastra dalam pesantren.
Seperti yang disinggung di atas, pesantren sebagai sebuah sub-kultur memang mempunyai sistem dan karakter tersendiri yang bisa jadi kurang dipahami pihak luar sebangai wadah dalam menimpa ilmu baik keagamaan atau ada campur ilmu umum, akan tetapi juga tentang kesustaraan yang akhir-akhir ini mulai mengalami kemorosotan. Maka dalam meningkatkan apresiasi sastra di pesantren banyak hal yang harus di pertimbangkan dan di pahami, misalnya tentang bagaimana sikap kiai terhadap kesenian, khususnya sastra. Mengetahui sikap kiai ini sangat penting jika gerakan apresiasi yang dimaksud akan bersifat struktural, misalnya dengan melembagakan sanggar sebagai wadah aktivitas dan kreativitas para santri. Mengetahui sikap kiai juga penting jika bentuk kegiatan yang dipilih bukan sanggar secara formal, namun berupa keleluasaan yang diberikan bagi para santri untuk beraktivitas sastra di pesantren.
Sastra di pesantren juga mampu mengembalikan keberadaan pesantren yang semakin merosot di mata masyarakat, di mana masyarakat lebih meilih menyekolahkan anaknya ke sekolah umum dari pada di pesantren, dimana yang kita ketahui sastra dan kesenian ini memiliki nilai-nilai yang halus yang bisa di pelajari dalam kehidupan sosial masyarakat, baik sastra yang berbau keagamaan, politik, ekonomi, sosial-budaya yang secara halus memberikan apresiasi terhadap masyarakat yang membaca dan mendengarkannya. Dengan demikina sastra di pesantren memiliki pengaruh yang sangat besar yang tanpa sadar kita pahami yang perlu kita tingkatkan kualitas-kreativitas sastra di pesantren .
Tulisan ini tak cukup sampai di sini untuk selesai hanya sebagai karya ilmiah. Hal ini diperlukan adanya sebuah aplikasi langsung dalam kehidupan masyarakat. Karya ilmiah ini tak sempurnah, maka diperlukan adanya sebuah kritikan dan saran yang diperlukan oleh penulis. 

0 komentar